Kamis, 06 Juni 2013

Fungsi Tujuan Ruang Lingkup dan Manfaat Fiqh Nilai



Fungsi Tujuan Ruang Lingkup dan Manfaat Fiqh Nilai

Pengertian
Kata fiqh “الفقه”.secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}, yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicaraka”.
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Fungsi Fiqih Nilai
1. Menanamkan nilai-nilai dan kesadaran beribadah kepada Allah Swt, sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
2. Membiasakan pengamalan terhadap hukum Islam dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku
3. Membentuk kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial
4. Meneguhkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt serta menanamkan akhlaq
5. Membangun mental dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan fisik dan sosial
6. Memperbaiki kesalahan dalam kelemahan dalam pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari

Tujuan Fiqih Nilai
1. Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli
2. Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar


Ruang Lingkup Fiqih Nilai
1. Ibadah
2. Muamalah
3. Jinayah
4. Siyasah
Sehingga fiqih nilai merupakan perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan diri sendiri, sesama manusia, makhluk lain.

Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya jika dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.
Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:
Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya langsung dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh. Kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
Tujuan akhir adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama setelah ilmu akidah.
Penjelasannya:
Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid.  Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu yang memiliki kedudukan tinggi.
Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.
Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqh.
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqh mempunyai dua makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqh. Masing-masing memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqh.
Menurut ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh adalah mengetahui fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqh Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain.








































Disiplin diri adalah pondasi
Dari semua kesuksessan
Lemah disiplin diri
Akan mengantarkan kita
Pada kegagalan



Aktualisasikan diri optimalkan potensi



suported by @McDindin

Arti Penting Watak Bagi Manusia



ARTI PENTING WATAK BAGI MANUSIA

Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru kami, kemudian apabila kami berikan nikmat kepadanya. Ia berkata: sesungguhnya aku diberi nikmat hanyalah karena kepintaranku. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui (49). Sungguh orang-orang sebelum mereka telah mengatakan itu pula, maka tiadalah berguna bagi mereka, apa yang dahulu mereka usahakan (50). Maka mereka ditimpa akibat buruk dari apa yang mereka usahakan. Dan orang-orang yang dzalim di antara mereka akan ditimpa akibat buruk dari usahanya dan mereka tidak akan dapat melepaskan diri (51). Dan tidaklah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki dan menyempitkanya bagi siapa yang dikehendakinya? Sesungguhnya dari apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman (52). (Khadim al-Haramayn, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1971)
Ayat di atas merupakan kelanjutan kajian dari  keterangan sebelumnya, bahwa manusia yang ingkar kepada Allah apabila disebut Nama Allah, kebenaran ajaran-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, mereka berpaling dari kebenaran itu. Tetapi tatkala kesulitan atau mara bahaya (kesulitan) menimpa mereka, seakan mereka berdo’a kepada Allah. Kemudian apabila Allah telah memberikan nikmat dan anugerah-Nya, mereka mengatakan bahwa: nikmat ini disebabkan karena kemampuan dan ilmuku. Memang sudah sepantasnya saya memperoleh atau berhak terhadap nikmat itu.(Husen al-Hamshi, Al-Quran al-Karim, Tafsir wa al-Bayan, Beirut). Padahal di ayat sebelumnya mereka mengingkari kebenaran Allah dan Rasulullah Muhammad Saw (al-Syaerazy al-Baidhawi:Berut, 2006). Dalam Tafsir Shawi dijelaskan bahwa pemberian nikmat dari Allah merupakan anugerah dan ketentuan Allah, bukan karena usaha atau kepintaran yang dimiliki oleh manusia. (al-Shawi:2002).
Itulah Watak kebanyakan manusia yang mempunyai sikap tidak konsisten yang melekat pada diri manusia. Ini terbukti ketika mereka terdesak atau dalam ditimpa kesulitan, mereka mengadu kepada Allah, tetapi apabila nikmat telah diperolehnya, mereka seakan lupa dari yang memberi nikmat, dzat yang maha kuasa atas pengaturan segala sesuatu. Watak-watak semacam ini adalah karakter umat-umat terdahulu, yang tidak mempercayai kemaha esaan dan kekuasaan Allah.
Dari sikap berubah-ubah (inkonsistensi) manusia juga tergambar adanya penyandaran atau penisbatan keburukan kepada Allah, sementara seandainya terdapat kebaikan berasal dari kemampuan mereka sendiri. Apa yang mereka sangkakan itu merupakan kesalahan yang nyata. Karena kalau memang mereka mau konsisten, tentunya mereka tidak menyandarkan keburukan kepada Allah dan mengaku kebaikan sebagai usaha mereka sendiri. Melainkan kebaikan dari Allah dan keburukan juga dari Allah. Atau kebaikan dan keburukan sama-sama dari Allah Swt, juga bisa dikatakan kebaikan dan keburukan adalah usaha mereka sendiri. Implikasi dari sikap mereka yang tidak konsisten itu, balasannya akan kembali kepada diri mereka sendiri dan mereka tidak akan dapat menghindarinya. Baik balasan dari sikapnya itu akan turun di dunia maupun di akhirat kelak.
Bukti kesalahan dari sikap manusia yang tidak konsisten itu dapat direkam dari watak orang-orang yang beriman kepada Allah, yang meyakini bahwa kelapangan dan kesempitan  rizki berasal dari Allah semata. Manusia tidak dapat mengatur dan menentukan kapasitas rizki yang akan mereka dapatkan, baik manusianya termasuk orang yang taat atau orang-orang yang selalu maksiat, tidak ada pengaruhnya terhadap kekuasaan Allah untuk menentukan kadar rizki masing-masing manusia. Allah maha kuasa untuk melapangkan rizki orang-orang yang tidak berusaha atau tidak mempunyai kemampuan sekalipun untuk mencari rizki. Demikian juga Allah mempunyai otoritas mutlak untuk melapangkan rizki orang-orang yang maksiat kepadanya. Maka dari itu Syaikh Shawi al-Maliki berpendapat, “tidak ada hubungannya antara memberikan kelapangan rizki duniawi atau mencabutnya dengan kecintaan kepada Allah. Tetapi rizki memang benar-benar pure (murni) kebijaksaan Allah Swt kepada hamba-hambanya. (al-Shawi al-Maliki:Beirut, 2002). (al-Suyuthi dan al-Mahali, Tafsir Jalalain, Beirut: Dar al-Fikr)
Dan bukti tanda-tanda kebesaran Allah ini seharusnya dapat menjadi patokan bagi manusia yang beriman dalam bersikap dan berperilaku secara konsisten antara hati dan perbuatan, atau antara aqidah dan relitas pengamalannya. Sikap semacam ini penting ditekankan dalam kehidupan dunia modern yang multi cobaan hidup. Baik cobaan dari sisi sosial ekonomi, sosial  politik, maupun sosial  keberagamaan di sekitar kita. Dengan adanya keistiqomahan (konsisten) dalam setiap perbuatan manusia, akan diperoleh kualitas penghambahan kepada Allah. Sehingga memunculkan sikap keberagamaan (religiuosity) yang bermutu juga dalam diri setiap umat yang beragama.
Kualitas keberagamaan akhirnya dapat meminimalisir adanya ketimpangan-ketimpangan yang selalu menjadi pemandangan harian di masyarakat kita, akibat inkonsistensi sebagian manusia, ketika bergaul dengan manusia yang lain. Ketimpangan ini dapat berwujud problem masalah zakat yang tidak pernah selesai dalam hal reformulasi distribusi atau penarikannya, problem sholat yang tidak relevan dengan perilaku para musholli (orang yang mengerjakan sholat), jihad dimaknai dengan kekerasan antar sesama, haji sebagai sarana pemuas hedonisme. Akhirnya ajaran agama dalam praktek kehidupan nyata seolah berlawanan secara diametral dengan tujuan diterapkanya ajaran tersebut, yang pada akhirnya keberlanjutan perilaku inkonsistensi  berakibat hilangnya elan vital ajaran agama dari diri manusia.
Juga dapat dikatakan, ketimpangan penampilan ajaran agama berkibat kepada kesenjangan kemampuan ekonomi antar anggota masyarakat. Sehingga problem-problem sosial selalu bermunculan seolah menjadi patologi social. Untuk itu konsistensi antara akidah (keyakinan) syari’ah (pelaksanaan rukun Islam) dan akhlaq (etika) dapat dijadikan solusi untuk memperbaiki nasib dan kondisi warga masyarakat menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya.









Kata ma’af
Adalah cara terbaik
Untuk melepaskan
Beban di hati
Walau terkadang
Kita berat
Untuk melakukannya



JAktualisasikan diri optimalkan potensiJ

suported By @tendiabi & McDindin

Penganta Filsafat Manusia


PENGANTAR FILSAFAT MANUSIA

Pengertian Filsafat Manusia
Menurut Abidin (2007/3), Filsafat Manusia adalah bagian integral dari system filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Pada intinya Filsafat Manusia adalah ilmu filsafat yang membahas tentang esensi manusia yang mencakup semua dimensi diri manusia. Maksud dari semua dimensi ialah membahas tentang fisik manusia, mental manusia, hakikat manusia, kedudukan manusia, tujuan asasi hidup manusia, apa yang harus dilakukan manusia dalam hidup, dll.
Subjek/Objek Filsafat Manusia
            Subjek adalah seseorang yang berfikir atau memikirkan hakekat sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Seperti halnya pengetahuan, maka filsafat_pun (sudut pandangnya) ada berapa objek yang dikaji oleh filsafat.
a.       Objek material yaitu segala sesuatu yang realitas
·         Ada yang harus ada, disebut dengan absoluth?mutlak yaitu Tuhan Pencipta.
·         Ada yang harus tidak ada, disebut dengan yang tidak mutlak, ada yang relatif (nisby), bersifat tidak kekal yaitu ada yang diciptakan oleh Tuhan ada yang mutlak (Tuhan Pencipta)
b.      Objek Formal atau Sudut Pandangan
            Filsafat itu dapat dikatakan bersifat non_pragmentaris, kerena filsafat mencari pengertian reralitas secara luas dan mendalam.  Sebagai konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh pengalaman-pengalaman manusia dalam semua instansi yaitu etika, estetika, teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lain-lain haruslah dibawa kepada filsafat dalam pengertian realita.
            Menurut  Prof.DR.M.J. Langeveld “...bahwaq hakikat filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan sarwa sekalian secara radikal dan menurut sistem...”
Metode Filsafat Manusia
Metode Kritis
            Melakukan kegiatan kritis dari pendapat para filusuf tentang manusia. Biasanya dengan metode ini tidak membawa ke arah pemahaman yang benar-benar positif.

Metode Analitika Bahasa
            Bertitik tolak pada penggunaan bahasa sehari-hari dengan menyelidiki hubungan bahasa dengan pikiran, dan kegunaan bahasa dalam ilmu pengetahuan dan filsafat.

Metode Fenomenologi
            Metode ini berusaha untuk menemukan kembali pengalaman asli dan fundamental melalui beberapa langkah, yaitu, fenomena hanya diselidiki sejauh disadari secara langsung, dan fenomena diselidiki sejauh merupakan bagian dari dunia yang dihidupi sebagai keseluruhan.


Metode Sintesis
Mensintesiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam satu visi. Contohnya, filsaafat Bergson tentang “elan vital”, fisafat Hegel tentang “roh”, filsafat Schopenhauer tentang  “kehendak”

Metode Refleksi
Mempertanyakan esensi sesuatu hal serta proses self –understanding berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang direnungkannya. Tampak dari pemikiran Descartes, Kant, Sartre, dsb.

Tujuan Filsafat Manusia
  1. Memelajari Filsafat Manusia untuk mendapatkan Hakekat Manusia
  2. Memelajari Filsafat Manusia untuk mendapatkan Fungsi dari keberadaan manusia di dunia.
  3. Mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh
  4. Mencari jawab siapa sesunguhnya manusia
  5. Memahami  kompleksitas manusia
  6. Memahami diri dalam  konsep menyeluruh yang pada gilirannya memudahkan menjalani kehidupan, mengambil makna dari setiap peristiwa.








Sesungguhnya
Setiap orang yang
Kita jumpai
Adalah bagian
Dari cara_Nya
Mendidik kita
Aa_Gym


JAktualisasikan diri optimalkan potensiJ