ARTI PENTING WATAK BAGI MANUSIA
Maka
apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru kami, kemudian apabila kami berikan
nikmat kepadanya. Ia berkata: sesungguhnya aku diberi nikmat hanyalah karena
kepintaranku. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui (49). Sungguh orang-orang sebelum mereka telah mengatakan itu pula,
maka tiadalah berguna bagi mereka, apa yang dahulu mereka usahakan (50). Maka
mereka ditimpa akibat buruk dari apa yang mereka usahakan. Dan orang-orang yang
dzalim di antara mereka akan ditimpa akibat buruk dari usahanya dan mereka
tidak akan dapat melepaskan diri (51). Dan tidaklah mereka mengetahui bahwa
Allah melapangkan rizki dan menyempitkanya bagi siapa yang dikehendakinya?
Sesungguhnya dari apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi kaum yang beriman (52). (Khadim al-Haramayn, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
1971)
Ayat di atas
merupakan kelanjutan kajian dari keterangan sebelumnya, bahwa manusia
yang ingkar kepada Allah apabila disebut Nama Allah, kebenaran ajaran-Nya,
kitab-Nya, Rasul-Nya, mereka berpaling dari kebenaran itu. Tetapi tatkala
kesulitan atau mara bahaya (kesulitan) menimpa mereka, seakan mereka berdo’a
kepada Allah. Kemudian apabila Allah telah memberikan nikmat dan anugerah-Nya,
mereka mengatakan bahwa: nikmat ini disebabkan karena kemampuan dan ilmuku.
Memang sudah sepantasnya saya memperoleh atau berhak terhadap nikmat itu.(Husen
al-Hamshi, Al-Quran al-Karim, Tafsir wa al-Bayan, Beirut). Padahal di
ayat sebelumnya mereka mengingkari kebenaran Allah dan Rasulullah Muhammad Saw
(al-Syaerazy al-Baidhawi:Berut, 2006). Dalam Tafsir Shawi dijelaskan bahwa
pemberian nikmat dari Allah merupakan anugerah dan ketentuan Allah, bukan
karena usaha atau kepintaran yang dimiliki oleh manusia. (al-Shawi:2002).
Itulah Watak
kebanyakan manusia yang mempunyai sikap tidak konsisten yang melekat pada diri
manusia. Ini terbukti ketika mereka terdesak atau dalam ditimpa kesulitan,
mereka mengadu kepada Allah, tetapi apabila nikmat telah diperolehnya, mereka
seakan lupa dari yang memberi nikmat, dzat yang maha kuasa atas pengaturan
segala sesuatu. Watak-watak semacam ini adalah karakter umat-umat terdahulu,
yang tidak mempercayai kemaha esaan dan kekuasaan Allah.
Dari sikap
berubah-ubah (inkonsistensi) manusia juga tergambar adanya penyandaran atau
penisbatan keburukan kepada Allah, sementara seandainya terdapat kebaikan
berasal dari kemampuan mereka sendiri. Apa yang mereka sangkakan itu merupakan
kesalahan yang nyata. Karena kalau memang mereka mau konsisten, tentunya mereka
tidak menyandarkan keburukan kepada Allah dan mengaku kebaikan sebagai usaha
mereka sendiri. Melainkan kebaikan dari Allah dan keburukan juga dari Allah.
Atau kebaikan dan keburukan sama-sama dari Allah Swt, juga bisa dikatakan kebaikan
dan keburukan adalah usaha mereka sendiri. Implikasi dari sikap mereka yang
tidak konsisten itu, balasannya akan kembali kepada diri mereka sendiri dan
mereka tidak akan dapat menghindarinya. Baik balasan dari sikapnya itu akan
turun di dunia maupun di akhirat kelak.
Bukti
kesalahan dari sikap manusia yang tidak konsisten itu dapat direkam dari watak
orang-orang yang beriman kepada Allah, yang meyakini bahwa kelapangan dan
kesempitan rizki berasal dari Allah semata. Manusia tidak dapat mengatur
dan menentukan kapasitas rizki yang akan mereka dapatkan, baik manusianya
termasuk orang yang taat atau orang-orang yang selalu maksiat, tidak ada
pengaruhnya terhadap kekuasaan Allah untuk menentukan kadar rizki masing-masing
manusia. Allah maha kuasa untuk melapangkan rizki orang-orang yang tidak
berusaha atau tidak mempunyai kemampuan sekalipun untuk mencari rizki. Demikian
juga Allah mempunyai otoritas mutlak untuk melapangkan rizki orang-orang yang
maksiat kepadanya. Maka dari itu Syaikh Shawi al-Maliki berpendapat, “tidak ada
hubungannya antara memberikan kelapangan rizki duniawi atau mencabutnya dengan
kecintaan kepada Allah. Tetapi rizki memang benar-benar pure (murni)
kebijaksaan Allah Swt kepada hamba-hambanya. (al-Shawi al-Maliki:Beirut, 2002).
(al-Suyuthi dan al-Mahali, Tafsir Jalalain, Beirut: Dar al-Fikr)
Dan bukti
tanda-tanda kebesaran Allah ini seharusnya dapat menjadi patokan bagi manusia
yang beriman dalam bersikap dan berperilaku secara konsisten antara hati dan
perbuatan, atau antara aqidah dan relitas pengamalannya. Sikap semacam ini
penting ditekankan dalam kehidupan dunia modern yang multi cobaan hidup. Baik
cobaan dari sisi sosial ekonomi, sosial politik, maupun sosial
keberagamaan di sekitar kita. Dengan adanya keistiqomahan (konsisten)
dalam setiap perbuatan manusia, akan diperoleh kualitas penghambahan kepada
Allah. Sehingga memunculkan sikap keberagamaan (religiuosity) yang
bermutu juga dalam diri setiap umat yang beragama.
Kualitas
keberagamaan akhirnya dapat meminimalisir adanya ketimpangan-ketimpangan yang
selalu menjadi pemandangan harian di masyarakat kita, akibat inkonsistensi
sebagian manusia, ketika bergaul dengan manusia yang lain. Ketimpangan ini
dapat berwujud problem masalah zakat yang tidak pernah selesai dalam hal reformulasi
distribusi atau penarikannya, problem sholat yang tidak relevan dengan perilaku
para musholli (orang yang mengerjakan sholat), jihad dimaknai dengan
kekerasan antar sesama, haji sebagai sarana pemuas hedonisme. Akhirnya
ajaran agama dalam praktek kehidupan nyata seolah berlawanan secara diametral
dengan tujuan diterapkanya ajaran tersebut, yang pada akhirnya keberlanjutan
perilaku inkonsistensi berakibat hilangnya elan vital ajaran
agama dari diri manusia.
Juga dapat
dikatakan, ketimpangan penampilan ajaran agama berkibat kepada kesenjangan
kemampuan ekonomi antar anggota masyarakat. Sehingga problem-problem sosial
selalu bermunculan seolah menjadi patologi social. Untuk itu
konsistensi antara akidah (keyakinan) syari’ah (pelaksanaan rukun Islam) dan akhlaq
(etika) dapat dijadikan solusi untuk memperbaiki nasib dan kondisi warga
masyarakat menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Kata ma’af
Adalah cara terbaik
Untuk melepaskan
Beban di hati
Walau terkadang
Kita berat
Untuk melakukannya
JAktualisasikan
diri optimalkan potensiJ
suported By @tendiabi & McDindin
tepangkeun teh abdi chandra ti fakultas psikologi uin bandung angkatan 2018
BalasHapus